Banda Aceh

Banda Aceh
TIK NET

Mengenai Saya

Foto saya
hanya Allah dan orang lain yang tahu,,,

Cari Blog Ini

Archive

Configure your calendar archive widget - Edit archive widget - Flat List - Newest first - Choose any Month/Year Format

Minggu, 04 April 2010

4 April 2010, 11:47 Setelah Hampir 6 Tahun Pascatsunami Khairiah Temukan Kembali Buah Hatinya


Dari tanda-tanda fisik yang bisa terlihat secara kasat mata, seperti ada kemiripan dengan almarhum suaminya, Khairiah yakin 100 persen itu anaknya. Namun untuk memastikannya, ia bertekad mengumpulkan uang untuk biaya tes DNA.

KHAIRIAH (37), tak pernah menyangka jika pertemuannya dengan bocah gelandangan itu, pada Kamis (25/3) dua pekan lalu, akan memberikan makna cukup mendalam dalam kehidupannya. Padahal, dua hari lalu dia sempat mendamprat bocah usia sekitar sembilan tahun itu karena terlihat merokok layaknya orang dewasa.

“Pada hari Kamis itu entah kenapa tiba-tiba tangan kanan saya tergerak melambai ke bocah itu yang berada di seberang jalan. Sedangkan tangan kiri saya mengurut-urut dada karena kasihan melihat dia,” ujar Khairiah saat dikunjungi Serambi di rumah orang tuanya, Desa Meunasah Raya Aree, Kecamatan Delima, Pidie, Jumat (2/4).

Hari itu, rumah orang tua Khairiah dipenuhi oleh warga setempat dan desa tetangga. Seperti halnya Serambi, kedatangan warga ke rumah tersebut juga bertujuan untuk memastikan kebenaran berita yang cukup menghebohkan. Seorang warga setempat menemukan anaknya yang hilang dalam musibah tsunami, 24 Desember 2004 lalu.

Si bocah yang mengaku bernama Akbar, duduk bersila di hadapan warga yang memenuhi ruang tamu rumah tersebut. Sesekali ia tampak tersenyum saat menceritakan kisah hidupnya. Namun, di saat yang lain ia menangis sejadi-jadinya ketika ada yang menanyakan apakah ia ingin kembali ke Takengon.

Menurut pengakuan Akbar, selama ini ia tinggal dengan keluarganya di Pondok Sayur, Aceh Tengah. Ia mengaku anak ketiga dari lima saudara dan hidup bersama ayah dan ibu tirinya. “Menurut ayah ibu kandung saya merantau ke Malaysia,” ujarnya. Sejak beberapa bulan lalu, kata Akbar, ia bersama seorang kakak perempuannya lari dari rumahnya. Ia mengaku kerap dipukul oleh ayah atau ibu tirinya. Namun kemudian ia berpisah dengan kakaknya di Takengon. Akbar selanjutnya menuju ke Bireuen untuk kemudian pergi ke Banda Aceh bersama seorang temannya yang disebut bernama Ucok.

Di Banda Aceh, Akbar kemudian mengaku menjadi gelandangan dan pernah ditangkap oleh petugas penertiban sehingga dimasukkan ke sebuah yayasan yang disebutnya bernama “Aneuk Nanggroe” di kawasan Mata Ie. “Tapi saya tidak betah di sana, karena dipukul-pukul oleh abang-abang. Kemudian saya lari dan hidup dari pemberian orang,” ujarnya.

Selain di Banda Aceh, Akbar yang mengaku tidak pernah sekolah ini juga mengatakan ia sempat pula menjadi gelandangan di terminal Pinang Baris dan Amplas, di Kota Medan, Sumatera Utara. “Waktu di sana saya makan dari pemberian orang. Saya minta-minta dari warung ke warung,” ujarnya sambil tersenyum lebar saat ada warga menanyakan bagaimana cara dia meminta makan.

“Wah sangat mirip dengan almarhum bapaknya,” celutuk seorang perempuan di antara para pengunjung, saat melihat wajah Akbar yang mengembangkan senyuman. “Iya, coba lihat foto almarhum bapaknya, tak bergeser sedikit pun,” ujar Bustami, tokoh muda desa tersebut sembari memperlihatkan foto almarhum Muhammad Nur Munthe, suami Khairiah.

Tanda lahir
Khairiah yang membawa pulang anak tersebut mengaku sangat yakin jika Akbar itu adalah anaknya Muhammad Irfan, yang hilang dalam musiban tsunami, tanggal 26 Desember 2004 lalu. Keyakinan Khairiyah cukup beralasan, karena anak tersebut memiliki tanda lahir (tupui) di bagian punggung, dan tahi lalat di lipatan lutut kanannya.

“Belakangan setelah saya bawa pulang ke sini, ternyata semuanya mengatakan bahwa ia sangat mirip dengan almarhum suami saya. Sehingga saya semakin yakin bahwa dia adalah anak saya. Namun kata orang, jika mau pasti tentu harus melalui tes DNA yang menurut orang juga butuh biaya besar. Entah darimana saya harus mencari biayanya,” ujar Khairiah.

Ia menceritakan, saat tsunami menerjang pesisir Aceh tanggal 26 Desember 2004 lalu, Khairiah yang tinggal di Jalan Perintis, Gampong Punge Jurong, Banda Aceh, kehilangan suami (Muhammad Nur Munthe) dan tiga anaknya, masing-masing, Ismaturrahmi, Muhammad Arif Afdhal, dan Muhammad Irfan.

Khusus Muhammad Irfan, saat tsunami terjadi masih berusia 3 tahun. “Ia lahir tanggal 14 April 2001. Kalau saat ini ia sudah berumur sembilan tahun kurang beberapa hari. Sebaya dengan dia,” ujar Khairiyah menunjuk Akbar atau Irfan yang terlihat memilin-milin rambutnya. “Nah ini juga salah satu kebiasaan anak saya waktu kecil,” tambah Khairiah menunjuk ke arah tangan si bocah yang memilin rambut depannya.

Khairiah menceritakan, sejak beberapa waktu terakhir ia memang kerap melihat bocah itu lalu lalang di depan tempat ia berjualan nasi, di Jalan Diponegoro, berseberangan jalan dengan taman kota Banda Aceh. Namun, seperti halnya saat melihat bocah gelandangan lainnya, Khairiah juga tidak punya perasaan apa-apa, hingga pada Kamis (25/3) tiba-tiba tangan kanannya tergerak melambai ke arah si bocah yang berjalan sendirian di kawasan taman kota.

“Setelah saya melambai, ia langsung menyeberang jalan ke arah saya. Kemudian saya beri makan. Setelah siap makan sembari mengucapkan terima kasih ia pergi lagi. Tapi esoknya, ia saya temukan tidur di depan rak nasi tempat saya berjualan. Sehingga setelah makan saya minta dia untuk mandi di Masjid Raya,” ujar Khairiah.

Melihat keakraban itu, beberapa pekerja di warung tersebut kemudian mengait-ngaitkan bahwa itu adalah anak Khairiah yang hilang dalam musibah tsunami. “Tapi saat itu saya bilang, tidak mungkin anak ini hitam dan joroknya minta ampun,” ujar dia sambil tertawa lebar. Akbar alias Irfan yang mendengar cerita itu juga ikut tertawa lebar.

Setelah itu, berdasarkan saran dari seorang pekerja di warung tersebut, Khairiah mencoba melihat punggung si bocah tersebut. “Masya Allah, saya kaget ketika melihat ada tanda lahir di punggungnya. Namun saya masih juga tidak yakin, karena ini sudah lama sekali,” ujarnya. Khairiah pun kemudian menawarkan si bocah untuk tinggal di rumahnya. “Saat saya memandikan dia dan menggosok-gosok punggungnya dengan lulur, seakan timbul perasaan yang luar biasa. Seakan seperti enam tahun lalu, sebelum tsunami. Saya langsung melihat bagian bawah lututnya, ternyata di sana juga ada tahi lalat seperti yang dimiliki anak saya. Sejak itu saya semakin yakin bahwa ini adalah anak saya,” ujarnya.

Pun demikian Khairiah tetap membiarkan si anak bermain-main bersamanya saat berjualan. “Saya tidak mau menahannya. Bahkan pada siang hari saya suruh mandi dia di kompleks Masjid Raya Baiturrahman. Kalau memang dia lari, berati bukan anak saya. Tapi dia selalu pulang,” ujarnya. Setelah beberapa hari tinggal bersamanya, pada Kamis (1/4), Khairiah pun memboyong si bocah pulang ke kampung orang tuanya di Desa Meunasah Raya Gampong Aree, Kecamatan Delima. Kesaksian warga setempat semakin meyakinkan Khairiah bahwa itu memang anaknya.

Setelah satu hari berada di kampungnya, Jumat (2/4), atas saran tokoh desa, Khairiah ditemani keluarganya melaporkan perihal tersebut kepada aparat Polsek Kecamatan Delima. “Sehingga jika ada pihak-pihak yang mengklaim anak ini sebagai anak dia, saya siap harus berurusan secara hukum. Kalau memang perlu sama-sama melakukan tes DNA. Saya hanya bermaksud melindungi dia. Kalau hasil DNA menyatakan dia bukan anak saya, apa boleh buat,” ujarnya mantap.

Iqbal dan Ramli, tokoh Meunasah Raya Gampong Aree menyatakan, jika hasil tes DNA menyatakan bahwa itu benar-benar anak Khairiah, maka ini bisa menjadi contoh kasus bagi orang tua lainnya yang kehilangan anak dalam musibah tsunami 2004. “Bisa saja masih banyak anak-anak yang jadi gelandangan dan dimanfaatkan oleh mafia, atau telah dijual ke luar daerah. Saya pikir pemerintah perlu memfasilitasi Khairiah untuk melakukan tes DNA,” ujar Iqbal. (zainal arifin m nur)
Read more...

Jumat, 02 April 2010

KARAKTERISTIK BIOKIMIAWI ENZIM TERMOSTABIL PENGHIDROLISIS KITIN


1
@ 2004 Sri Rahayu Posted 21 December 2004
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Dr. Ir. Hardjanto, MS
KARAKTERISTIK BIOKIMIAWI ENZIM
TERMOSTABIL PENGHIDROLISIS KITIN
Oleh:
Sri Rahayu
NRM. 261040031
e-mail: srahajoe_2763@telkom.net
PENDAHULUAN
Enzim adalah biokatalisator yang banyak digunakan pada berbagai bidang
industri produk pertanian, kimia, dan medis. Enzim memiliki sifat-sifat spesifik yang
menguntungkan yaitu efisien, selektif, predictable, proses reaksi tanpa produk
samping, dan ramah lingkungan. Sifat-sifat tersebut menyebabkan penggunaan enzim
semakin meningkat dari tahun ke tahun, diperkirakan peningkatan mencapai 10–15%
per tahun.
Aplikasi enzim pada beberapa industri menghendaki enzim-enzim yang dalam
beraktivitas tahan terhadap panas (termostabil). Hal ini berkaitan dengan keuntungan
yang akan diperoleh bila proses produksi dilakukan pada suhu tinggi yaitu
menurunkan resiko kontaminasi, meningkatkan kecepatan reaksi sehingga menghemat
waktu, tenaga dan biaya; serta menurunkan viskositas larutan fermentasi sehingga
memudahkan proses produksi.
Kitin adalah polimer dari β-1,4-N-asetilglukosamin, polimer kedua terbesar di
alam setelah selulosa. Kitin terdapat terutama pada limbah hasil laut khususnya
golongan udang, kepiting, ketam, dan kerang. Secara hayati, polimer sakarida ini
disintesis sampai satu miliar ton per tahun di dunia. Diperkirakan limbah hasil laut
terutama kulit udang dan batok kepiting dunia sebesar 1,5 juta ton per tahun (Hyean-
Woo et al., 1996; Somashekar dan Joseph, 1996). Kadar kitin dalam kulit udang dan
2
kepiting diperkirakan mencapai 40-60 persen (Angka dan Suhartono, 2000) dan 22-44
persen pada dinding sel fungi (Patil et al., 1999).
Kitinase, Kitin deasetilase, dan Kitosanase ketiganya merupakan enzim-enzim
penghidrolisis kitin, kitooligomer dan kitosan. Kitin dan turunannya menjadi sangat
menarik karena berbagai fungsi teknologis yang dimiliki seperti sebagai
immunoadjuvant, flokulan, dan agrokimia (Sakai et al., 1998). Kitooligosakarida
mempunyai efek penghambatan terhadap pertumbuhan jamur dan bakteri, aktivitas
antitumor dan antiradang, serta aktivasi respon imun (Hyean-Woo et al., 1996; Patil et
al., 1996).
Kitosan merupakan produk dari deasitilase kitin yang memiliki sifat unik,
sebab kerangka gula pada kitosan mempunyai gugus amino bermuatan positif. Karena
muatan positif itulah, kitosan mempunyai aplikasi yang luas di antaranya sebagai
flokulan kationik pada pengolahan limbah dan sebagai bahan penyusun produk
perawatan kulit dan rambut (Tokuyasu et al., 1996); digunakan dalam industri
perekat; sebagai senyawa pengkelat zat warna pada industri kertas, tekstil, pulp;
sebagai pengangkut obat dan komponen alat-alat operasi; deasidifikasi buah, sayur,
dan ekstrak kopi; kromatografi; amobilisasi enzim dan sel (Angka dan Suhartono,
2000; Tsigos et al., 2000); sebagai bahan berserat, kitin dan kitosan berpotensi
menurunkan kolesterol; untuk perawatan penderita kolik, dan sebagai agen
hipourisemia (Muzzarelli, 1996).
Oligomer kitosan adalah produk hidrolisis kitosan oleh enzim kitosanase yang
berperan luas dalam dunia medis yaitu sebagai antitumor, stimulan sistem imun, dapat
menurunkan gula darah dan mengontrol tekanan darah, mencegah konstipasi,
meningkatkan absorpsi kalsium, mengurangi kadar asam urat, dan menurunkan
kolesterol (Dalwoo, 2004).
Aplikasi enzim yang menghasilkan oligomer dari kitin dengan ukuran spesifik
jauh lebih menguntungkan dibanding dengan hidrolisis kimia yang cenderung
menghasilkan monomer, karena ukuran spesifik produk oligomer (trimer hingga
heksamer) berkaitan erat dengan sifat fisiologis dan bioaktifnya.
Hidrolisis kitin di alam dikatalisis oleh beberapa enzim yang disintesis oleh
mikroorganisme yang bekerja secara sinergis. Jalur hidrolisis kitin menjadi berbagai
produk turunannya tampak pada gambar (Gooday, 1990).
3
Enzim-enzim termostabil mempunyai karakteristik biokimiawi yang menarik.
Sifat termostabilitas protein enzim berkaitan dengan bagian asam-asam amino yang
bersifat hidrofobik, intensitas interaksi elektrostatik dan jembatan disulfida di antara
asam amino penyusun struktur protein (Edwards, 1990; Suhartono, 2000). Menurut
Zuber (1981), molekul protein memerlukan fleksibilitas dan rigiditas untuk
Gambar Jalur hidrolisis kitin di alam oleh mikroorganisme
fungsinya, akan tetapi pada suhu di atas optimum struktur yang lebih kaku diperlukan
untuk mengimbangi kenaikan energi panas. Kestabilan protein dapat meningkat bila
struktur protein lebih kompak sehingga molekul air dapat keluar dari rongga yang
dimiliki oleh molekul protein (Nosoh dan Sekiguchi, 1991)..
N-Asetil Glukosamin GLUKOSAMIN
Glukosaminidase
K I T I N KITOSAN
KITIN Oligosakarida KITOSAN Oligosakarida
Kitin deasetilase
Kitinase Kitosanase
Glukosaminidase
1-4-ß-N-asetilglukosaminidase
4
Makalah ini ditulis dengan tujuan mengetahui dan mempelajari karakteristik
biokimiawi enzim-enzim termostabil yang berperan dalam hidrolisis kitin, khususnya
enzim kitinase, kitin deasetilase, dan kitosanase. Karakteristik biokimiawi enzim yang
diamati antara lain adalah suhu dan pH optimum, stabilitas terhadap panas, sifat
terhadap kation divalen, dan berat molekul enzim. Ketiga enzim dihasilkan oleh
bakteri penghasil enzim penghidrolisis kitin yang bersifat termofilik (suhu optimal
pertumbuhan 55oC).
MATERI DAN METODE
Produksi enzim
Bakteri kitinolitik ditumbuhkan dalam media cair mengandung substrat 0.5%
koloidal kitin pada suhu 55oC. Pada selang waktu tertentu selama inkubasi, sampel
diambil dan diuji aktivitasnya. Produksi enzim dilakukan pada waktu fermentasi
optimal. Di akhir inkubasi, filtrat dipisahkan dari sel menggunakan sentrifus pada
3.000 x g selama 15 menit. Protein diendapkan menggunakan amonium sulfat 40-50%
dan dilarutkan dalam 0.02M bufer Tris pH 7.0. Untuk mendenaturasi enzim yang
tidak tahan panas, protein diinkubasi 55oC selama 24 jam kemudian disentrifus.
Enzim selanjutnya didialisis menggunakan membran (Sigma, 12.500 molekul),
kemudian diaplikasikan ke kolom DEAE sephadex A-50. Protein dianalisis
menggunakan metode Bradford (1976).
Uji Aktivitas Enzim
Aktivitas kitinase diuji menggunakan metode Ueda dan Arai (1992).
Campuran reaksi mengandung 0.3% koloidal kitin, 0.1M bufer fosfat (pH 7.0) dan
larutan enzim diinkubasi pada 55oC selama 60 menit. Sisa kitin dalam campuran
reaksi diukur turbiditasnya pada 660 nm. Satu unit aktivitas didefinisikan sebagai
jumlah enzim yang menyebabkan penurunan absorbansi sebesar 0.001 pada 660 nm
per menit.
5
Aktivitas kitin deasetilase diuji menggunakan metode Tokuyasu et al (1996).
Substrat glikol kitin (Sigma) 0.15% diinkubasi dalam 20 mM bufer sodium
tetraborat/HCl. Reaksi dimulai dengan menambah 40 μl larutan enzim ke dalam 160
μl campuran reaksi. Inkubasi selama 20 menit, reaksi dihentikan dengan menambah
200 μl asam asetat 33% (b/v).
Aktivitas kitosanase diuji menggunakan metode Yoon et al (2001). Substrat
1.0% kitosan terlarut dalam bufer fosfat potasium direaksikan dengan enzim pada
suhu 60oC selama 30 menit. Reaksi dihentikan dengan pemanasan 100oC selama 10
menit, kemudian disentrifugasi.
Karakterisasi Enzim
Karakteristik biokimia enzim yang diamati adalah suhu dan pH optimal,
stabilitas terhadap panas, sifat terhadap kation divalen, dan berat molekul enzim. Sifat
terhadap suhu dan pH diketahui dengan menguji larutan enzim pada berbagai variasi
suhu dan pH menggunakan beberapa jenis bufer (pH : 3.0 – 11.0).
Sifat stabilitas panas diukur dengan menguji enzim pada suhu dan pH optimal
selama beberapa jam/hari, dan tiap selang waktu tertentu diambil sampel larutan
enzim kemudian diukur aktivitasnya.
Sifat terhadap kation divalen (sebagai inhibitor/aktivator) diukur dengan
menguji enzim pada beberapa larutan kation divalen (Ca, Mn, Mg, Ni, Co, Cu). Berat
molekul enzim diukur menggunakan metode Sodium Dodecyl Sulfate –
PolyAcrylamide Gel Electrophoresis (Laemmli, 1970).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh suhu pada reaksi enzimatis merupakan fenomena yang kompleks.
Pada awalnya kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya reaksi kecepatan
enzim hingga tercapai suhu optimal, selanjutnya kecepatan reaksi akan menurun
karena perubahan konformasi pada substrat dan enzim. Pada suhu yang lebih tinggi
akan terjadi denaturasi enzim sehingga enzim akan kehilangan aktivitas.
6
Kisaran suhu optimal untuk aktivitas enzim pendegradasi kitin termostabil
cukup luas yaitu berkisar dari 45–85oC. Enzim-enzim termostabil dihasilkan oleh
mikroorganisme termofilik yang dikulturkan pada suhu optimal di atas 45oC. Pada
umumnya aktivitas enzim-enzim penghidrolisis kitin dari mikroorganisme termofilik
memiliki suhu optimal di atas suhu pertumbuhannya.
Kitinase dan kitin deasetilase termostabil yang dihasilkan oleh Bacillus K29-
14, diketahui memiliki aktivitas optimal pada suhu 55oC dan pada suhu 65oC terjadi
penurunan aktivitas kitin deasetilase sebesar 4 persen sedang kitinase 32 persen. Pada
suhu 85oC aktivitas sisa kedua enzim tinggal sekitar 15 persen, denaturasi enzim
terjadi pada suhu 95oC (Rahayu et al, 2004). Tiga endokitinase termostabil dari
Bacillus strain MH-1 yang dikulturkan pada suhu 58oC juga mempunyai aktivitas
optimal di atas suhu pertumbuhannya yaitu pada suhu 65oC dan 75oC (Sakai et al.,
1998). Kitosanase dari Bacillus sp. strain CK4 yang diproduksi pada suhu 60oC
mempunyai aktivitas optimal pada suhu 60oC dan pH 6.5 (Yoon et al., 2001).
Enzim memerlukan pH lingkungan yang sesuai untuk aktivitas optimalnya.
Perubahan pH lingkungan diperkirakan akan menyebabkan perubahan ionisasi enzim,
substrat, atau kompleks enzim dengan substrat, sehingga aktivitas enzim akan
menurun. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa enzim-enzim penghidrolisis
kitin pada umumnya bekerja optimal pada kisaran pH asam hingga netral.
Kitinase Bacillus K29-14 bekerja optimal pada pH 7.0, Bacillus strain MH-1
pada pH 5.5 dan 6.5, Aeromonas sp. pada pH 3.5 – 4.5 (Ueda et al., 1995). Meskipun
demikian beberapa mikroba menghasilkan enzim ktinase dan kitin deasetilase yang
beraktivitas optimal pada pH alkalis, misalnya dua kitinase dari P. aeruginosa K-187
pada pH 7.0 dan 8.0 (Wang dan Chang, 1997), kitin deasetilase Bacillus K29-14 pada
pH 8.0 (Rahayu et al., 2004) dan kitin deasetilase C. lindemuthiamum pada pH 11.5 –
12.0 (Tokuyasu et al., 1996).
Enzim enzim penghidrolisis kitin yang dihasilkan oleh mikroorganisme
termofilik umumnya memiliki sifat stabilitas terhadap panas yang sangat baik.
Kitinase dan kitin deasetilase Bacillus K29-14 masih mempunyai aktivitas sisa 80–90
persen setelah diinkubasi selama 5 jam pada suhu 70oC (Rahayu et al., 2004).
Kitosanase Bacillus sp. strain CK4 stabil pada suhu 80oC selama 30 menit dan 70oC
selama 60 menit (Yoon et al., 2001).
7
Beberapa enzim memerlukan ion-ion tertentu untuk menjamin aktivitasnya.
Ion-ion tersebut dapat bertindak sebagai inhibitor pada konsentrasi tertentu, tetapi
dapat juga menjadi aktivator pada konsentrasi yang berbeda.
Kation divalen CoCl2 dan NiCl2 meningkatkan aktivitas kitinase Bacillus K29-
14, sementara ZnCl2 menghambat aktivitas kitinase. Kitin deasetilase Bacillus K29-14
diaktifkan oleh adanya MgCl2 tetapi dihambat oleh MnCl2, CaCl2 dan NiCl2 (Rahayu
et al., 2004). Aktivitas kitosanase Bacillus sp. strain CK4 meningkat 2.5 kali dengan
penambahan 10 mM ion Cu dan 1.4 kali ion Mn, sementara pada konsentrasi yang
sama ion Cu menghambat aktivitas kitosanase (Yoon et al., 2001).
Pada umumnya mikroorganisme menghasilkan beberapa jenis enzim untuk
menghidrolisis kitin yang terdapat di alam. Bacillus strain MH-1 menghasilkan tiga
jenis kitinase dengan berat molekul 71, 62 dan 53 kDa (Sakai et al., 1998). Jamur
Colletotrichum lindemuthianum menghasilkan kitin deasitilase setelah delapan hari
inkubasi, enzim merupakan polipeptida tunggal dengan berat molekul sekitar 31,5 dan
33 kDa (Tokuyasu et al., 1996). Aeromonas sp. menghasilkan enam jenis kitinase
dengan berat molekul 89, 117, 120, 104, 112, dan 115 kDa (Ueda et al., 1995),
sementara P. aeruginosa K-187 dua jenis kitinase dengan berat molekul 60 dan 30
kDa (Wang dan Chang, 1997).
KESIMPULAN
1. Enzim termostabil penghidrolisis kitin memiliki aktivitas optimal pada suhu
di atas 50oC dengan pH optimal umumnya pH asam.
2. Pada umumnya. enzim pendegradasi kitin yang dihasilkan mikroorganisme
termofilik stabil pada suhu 70–80oC.
3. Mikroorganisme termofilik menghasilkan beberapa jenis enzim untuk
mendegradasi kitin dengan berat molekul sangat beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.l. dan M.T. Soehartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. PKSL-IPB. Bogor.
8
Bradford, M.M. 1976. A Rapid and Sensitive Method for the Quantitation of
Microgram Quantities of Protein Utilising the Principle of Protein Dye Binding.
Anal. Biochem., 72: 248–254.
Dalwoo. 2004. Chitosan Oligomer. http://dalwoo.co/chitosan/product.html/ (03 Maret
2004).
Gooday, G.W. 1990. The Ecology of Chitin Degradation. Advances in Microbial
Ecology, 11: 387–430.
Hyean-Woo, L., J. Choi, D. Han, N. Lee, S. Park dan D. Yi. 1996. Identification and
Production of Constitutive Chitosanase from Bacillus sp. HW-002. Journal of
Microbiol. and Biotech. 6 (1): 12–18.
Laemmli, U.K. 1970. Cleavage on Structural Proteins During the Assembly of the
Head of Bacteriophage T4. Nature 227: 680–685.
Muzzarelli, R.A.A. 1996. Chitosan Based Dietary Food. J. of Carbohydrate polymers
29: 309–316.
Nosoh, Y. and T. Sekiguchi. 1991. Protein Stability and Stabilization Through
Protein Engineering. Ellis Horwood Ltd, England.
Patil, R.S., V. Ghormade dan M.V. Deshpande. 1999. Chitinolytic Enzymes: An
Exploration. J. Enzyme and Microbial. Technol. 26: 473–483.
Rahayu, S., F. Tanuwidjaya, Y.Rukayadi, A.Suwanto, M.T.Suhartono, J.K. Hwang
dan Y.R. Pyun. 2004. Study of Thermostable Chitinase Enzymes from Indonesian
Bacillus K29-14. J. Microbiol. Biotechnol. 14 (4): 647–652.
Sakai, A., A. Yokota, H. Kurokawa, M. Wakayama, M. Moriguchi. 1998. Purification
and Characterization of Three Termostable Endochitinases of a Bacillus Novel
Strain MH-1 Isolated from Chitin Containing Compost”. Appl. and Environ.
Microbiol. 64 (9): 397–340.
Somashekar, D. and R. Joseph. 1996. Chitosanases Properties and Applications a
Review. Bioresources Tech. 55: 35–45.
Soehartono, M.T. 2000. Pemahaman Karakteristik Biokimiawi Enzim Protease dalam
Mendukung Industri Berbasis Bioteknologi. Orasi Ilmiah. Fakultas Teknologi
Pertanian – IPB Bogor.
Tokuyasu, K., M.O. Kameyama dan K. Hayashi. 1996. Purification and
Characterization of Extracellular Chitin Deacetylase from Colletotrichum
lindemuthianum. Biosci. Biotech. Biochem. 60: 1598–1603
9
Ueda, M., A.Fujiwara, T.Kawaguchi dan M. Arai. 1995. Purification and Some
Properties of Chitinases from Aeromonas sp. No. 10S – 24. Biosci. Biotech.
Biochem. 59 (11): 2162–2164.
Ueda, M., M. Shiro, T.Kawaguchi dan M. Arai. 1996. Expression of the Chitinases III
Gene of Aeromonas sp. No. 10S–24 in Escheria coli. Biosci. Biotech. Biochem.
60: 1195–1197.
Wang, S.L. dan W.T. Chang. 1997. Purification and Characterization of Two
Bifunctional Chitinases/Lisozymes Extracellularly Produced by P. aeruginosa
K-187 in Shrimp and Scrab Shell Powder Medium. Appl. and Environ.
Microbiol. 63: 380–386.
Yoon, H.C, HY. Kim, HK. Kim, BS. Hong, DH. Shin and H.Y. Cho. 2001.
Termostable Chitosanase from Bacillus sp. Strain CK4 : Its Purification,
Characterization and Reaction Patterns. Biosci. Biotech. Biochem.. 63 (4): 802-
809
Read more...
 
 

Designed by: Compartidísimo
Scrapping elements: Deliciouscraps©